Baik, dari mana kita sebaiknya mulai? Ah begini saja, kusebutkan di depan untuk siapa saja tulisan ini. Biasanya aku menulis untuk dibaca siapa saja, tapi kali ini aku menulis secara khusus untuk tiga orang penting di masa sangat lampau, lampau, sekarang, dan mendatang.
Pertama, ini untuk anakku, Tirtalatoe Wirayangjagad. Ayahmu tidak punya bakat tampil di depan kamera selayaknya tokoh di Sabtu Bersama Bapak, jadi aku tulis saja. Tulisan ini adalah prasasti, jikalau suatu waktu ayah tak punya kesempatan bercerita langsung padamu. Toh seseorang memang perlu menulis agar tetap abadi. Begitu kata Mbah Pram nak.
Kedua, ini untuk bapakku, Soewarno. Lho ibuku mana? Ibu masih hidup, bernafas, dan terkadang mengomeli muridnya, jadi kali ini untuk bapak saja dulu. Semoga ibu tidak cemburu. Saya akan bilang bapak adalah bapak terbaik yang bisa saya miliki. Kenapa? Ya karena sebagai anak saya tidak mungkin mencoba bapak yang lain sampai ketemu yang cocok. Kurang ajar ya? Semasa hidup saya memang kurang ajar kok sama bapak, tapi tenang, hubungan kami baik kok. Saya menyaksikan detik-detik bapak sakaratul maut dan nangis tidak karuan saat membacakan yasin. Halo bapak, tenangno pikirmu.
Ketiga, Raden Ajeng Kartini (selanjutnya Kartini saja, capek nulis kepanjangan). Andai tidak membaca kumpulan suratnya, mungkin saya tidak akan pernah lanjut sekolah ke Belanda. Andai tidak mengagumi Sosrokartono (kakaknya), mungkin saya tidak akan benar-benar niat sekolah ke Belanda. Catat namanya, Sosrokartono.
Halo untuk bocah pengendali keuangan rumah tangga
Nak, namamu terdiri dari empat kata dari dasanama.
- Tirta = air
- Latoe = api
- Wirayang = angin
- Jagad = bumi
Kalau ada yang bilang namamu norak karena njawa tenan, abaikan. Tapi kalau ada yang bilang namamu norak karena avatar banget, itu benar adanya. Bapakmu khatam nonton Avatar, dari yang Aang (bukan nama lelaki Tasik ya ini, monmap), sampai Koora. Terkesan norak ya ben, tapi ketahuilah ayahmu tuh filosofis.
Dengan nama itu, kami berharap kamu jadi penyeimbang di dunia. Eh kejauhan ya? Minimal kamu bisa jadi orang yang imbang deh. Gak terlalu condong kanan, gak juga kelewat kiri. Di tengah-tengah saja, tapi tetep berprinsip.
Kenapa Latoe, bukan Latu saja? Jadul ya nak. Nah ini supaya kamu tahu kalau kita pernah pakai ejaan lama, oe = u. Ya siapa tahu kan pas kamu dewasa nanti orang sudah lupa sejarah ejaan lama itu. Maka kami abadikan lewat namamu. Itu juga sekaligus doa, agar kamu nanti bisa ke Belanda, negara asal ejaan lama itu. Jadi, nanti kamu bisa tahu kalau kawanmu yang namanya Jan Ethes, di sana dipanggil Yan Ethes. Oh iya, kalau kawanmu itu ngegas macam gini,
“Woy ini jalan yang bangun mbahku!”
Jangan dibantah, karena memang demikian adanya nak.
Nak, seperti orangtua kebanyakan, kamu akan kami usahakan untuk dapat jadi yang terbaik. Terserah terbaik versi bagaimana, kami akan usahakan kamu bisa ke sana. Tapi jika suatu saat nanti ada yang bilang untuk dapat beasiswa kamu harus jadi yang terbaik, percayalah nak, tidak semuanya begitu.
Ayahmu ini contohnya. Main musik nggak bisa, nyanyi fals, nggambar jelek, main board game kalahan, ikut SSB tapi nggak pernah lolos seleksi turnamen, mau jadi model tapi terlalu imut (tingginya), pacaran pun nggak pernah karena mentok di status gebetan, wis ngono nek ngentut mambune gak karuan.
Dan ayah juga dulu gagak lolos seleksi LPDP pada 2014. Kalau sekarang ayah dapat LPDP versi 2018, percayalah itu karena ada Afirmasi PNS. Kalau nggak ada, ya tulisan ini nggak bakalan ada juga le. Tentang ayah jadi PNS, itu juga karena doa mbahmu kenceng bukan main. Tanpa doa mereka, ayahmu mungkin masih jadi jurnalis dengan bayaran… ya segitulah (manteman jurnalis, saya doakan gaji kalian minimal Rp6 juta ya mulai tahun ini, di manapun domisilinya).
Tapi sejak remaja ayah memang selalu bermimpi kuliah di luar negeri nak. Kalau tidak salah sejak SMP. Waktu itu ayah ingin kuliah tentang video game. Ayah ingin bikin game asli Indonesia (alhamdulillah sekarang sudah banyak). Kuliahnya di Amerika Serikat dan mahal. Ya jelas mbahmu mana punya duit. Jadi ya mimpi cuma mimpi.
Semasa kuliah, karena membaca memoar perjalanan Mbak Marina Kusumawardhani di Eropa, ayah sudah menuliskan di kertas. Europe Trip 2014. Itu ayah tempel di dinding. Ya tapi sampai 2014 ayahmu masih kere dan belum ada uang ke sana. Tapi ayah tahu nak, cuma perkara waktu saja untuk mewujudkannya.
Percobaan pertama, ayah berusaha untuk bisa kuliah tentang Manajemen Olahraga (khususnya sepak bola) di Inggris atau Swiss. Pilihan yang masuk akal karena waktu itu ayahmu masih sebagai jurnalis olahraga. Dan lagi termotivasi dengan pencapaian Ratu Tisha yang pada 2014 itu berhasil ayah mintai wawancara.
Eh rupanya di waktu yang sama, ayahmu capek debat dengan mbahmu karena terus-terusan disuruh tes CPNS. Ya sudah, ayah bilang akan ikut tapi hanya sekali ini dan maunya di Kemenparekraf karena mau mengurus industri game Indonesia.
Seperti ayah bilang di awal, semua karena doa mbahmu nak. Jadinya ayah gagal dapat beasiswa, eh malah jadi PNS. Sebuah profesi yang nggak pernah ayah inginkan dan beberapa kali ayah jelek-jelekkan (ya gimana tidak, wong acuannya PNS daerah sendiri yang kebanyakan wagu). Tapi ayah kemudian paham maksud Tuhan nak.
a) Tuhan tahu level kemampuan ayahmu, juga akan adanya Afirmasi PNS pada 2018.
b) Ayah dipertemukan PNS yang kerjanya bagus (sampai kerap lembur dan sakit). Apalagi sejak kenal manteman Aparatur Muda (harap ikuti IG @aparaturmuda.id agar saya bisa naik level platinum dan dapat kapal pesiar ya)
Jadi begitu nak, Tuhan lebih tahu kebutuhan manusia. Dan orangtua seringkali jadi perantaranya (ini peringatan dini supaya kamu tidak kebanyakan mbantah. Camkan itu nak).
Panjang lebar gini, ayah cuma mau pesan (biar gaya, pakai bahasa Spanyol nih): si se cree y se trabaja, se puede. Kalau kamu yakin dan kamu bekerja keras untuk itu, kamu pasti bisa. Itu pegangan ayah sejak 2014.
Sewaktu mengusahakan dapat nilai IELTS 6.5, ayah setiap pagi sebelum bekerja dan malam setelah pulang kerja (masih jadi jurnalis ceritanya) belajar untuk tes mahamahal itu. Ayah tidak mau gagal. Karena kalau gagal, ayah baru bisa mengulangnya setahun kemudian karena biaya tesnya 1x gaji ayah. Selama tiga bulan ayah belajar keras (itu momen ayahmu belajar paling niat sepanjang hidup). Dan berhasil.
Karena sudah pernah gagal dapat beasiswa pada 2014, ayah mempersiapkan semua lebih serius untuk 2018 nak. Baca jurnal ini, berita itu, buku-buku yang membosankan tapi harus ditamatkan, nonton video yang berfaedah. Semua yang terkait kepariwisataan berkelanjutan (hal yang ingin ayah teliti) itu suka tidak suka harus ayah pelajari untuk persiapan. Butuh 2-3 tahun untuk ayah mematangkan apa yang benar-benar ingin ayah lakukan dengan ilmu yang nanti didapat di Belanda. Harusnya tidak selama itu nak, tapi dasar ayahmu saja yang kurang disiplin.
Intinya nak, kecuali sangat berbakat dan jenius, tidak ada yang datang dengan mudah. Saat kamu lesu dan tidak bergairah, selalu tengok Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi. Saat kamu membaca ini, mereka sudah pensiun pastinya.
Ronaldo tidak punya bakat sehebat Messi, tapi ia selalu bilang ke diri sendiri bahwa ia akan jadi yang terbaik di dunia. Pria Portugal itu nak, adalah pesepakbola dengan disiplin paling disiplin yang ayah tahu. Ia datang latihan paling awal, pulang paling belakangan. Makan yang dijaga nutrisinya, tidur cukup, tidak bertato karena rutin donor darah, dan seorang ayah yang baik.
Messi punya bakat yang mungkin ada 20-40 tahun sekali, tapi ia tetap bekerja keras karena ia tidak pernah suka kalah. Messi tidak pernah mau dilampaui Ronaldo. Ayah akan selalu bilang Messi adalah pesepakbola terbaik yang pernah ada, tapi Ronaldo adalah pekerja keras nomor satu yang pernah ayah lihat.
Ayah tentu saja tak sehebat mereka. Sekali lagi, ayah tak punya sesuatu yang istimewa selain kamu. Ayah hanya tahu ayah akan kuliah di luar negeri. Hanya perkara waktu saja, sehingga kegagalan lima tahun lalu hanya penundaan. Ayah tahu ayah akan ke Eropa, kamu dan bunda akan ikut di sana (semoga urusan visa kalian dipermudah), dan kamu nak, Tirtalatoe Wirayangjagad, akan mengikuti dan melampaui pencapaian ayahmu.
Ayah dan bunda yakin itu. Kata Nurhadi-Aldo, semacquuen yaqueen.
Untuk Manusia yang Pergi Lebih Cepat dari Seharusnya
Hari itu aku tahu bapak akan pulang. Barangkali bapak sudah rindu Pakdhe Rus. Tiap ke Pati, bapak tak pernah absen mengunjungi Pakdhe Rus. Mereka selalu bercerita banyak. Sementara aku hanya betah mengikuti paling banyak sepertiganya, sebelum pamit ke teras. Ya mungkin bapak ingin kembali bercerita dengan Pakdhe di alam berbeda.
Dari mana aku tahu hari itu bapak akan berpulang? Dalam doaku selalu kumintakan Tuhan, jika tiba saatnya orangtuaku Ia panggil, biarkan aku ada di Jepara. Tidak di sampingnya tak mengapa, tapi setidaknya jangan mereka meninggal saat aku di perantauan. Dan Tuhan sangat baik. Ia kabulkan doaku.
Siang itu kami hanya berdua, di rumah sakit dekat rumah, sebelum dipindah ke rumah sakit yang sedikit saja lebih jauh.
“Pak, dulu mbah pas meninggal umur berapa?”
“Sembilan puluh enam”
“Yawis bapak nanti umur segitu juga”
“Emoh, aku cukup 80 wae”
Dari situ aku tahu bapak sudah lelah. Ia tak mau hidup dan menderita sampai 30 tahun lebih lama. Angka 80 itu ngarang saja, aku tahu bapak sudah lelah sakit-sakitan. Jawaban itu jelas: tak ada lagi semangat hidup dari bapak.
Malam itu pengumuman kelulusan beasiswa. Aku lulus. Kali ini aku memang yakin akan lulus, tidak seperti empat tahun silam. Terserah orang bilang ini arogansi, aku ini sombong. Sejak SMP aku sudah berambisi untuk lanjut sekolah di luar negeri. Amerika, lalu Jepang, tapi kuputusan Eropa tujuanku. Sederhana, aku suka sepak bola.
Aku tahu harus berusaha sekeras apa untuk bisa ke sana. Aku sadar kemampuan diriku. Sekolah di Eropa memang anugerah Tuhan. Aku syukuri itu. Tapi aku tahu itu takdirku. Takdir yang sudah kuupayakan sejak lama. Tak ada orang tahu sebelum ini, karena aku memang tak pernah cerita ke seorangpun. Tidak istriku, tidak pula orangtuaku. Biarlah orang melihat hasilnya, tak usah prosesnya. Sekali lagi, aku peduli setan jika nanti dicap arogan dan sombong.
Karena malam itu, 28 Desember 2018, ayah dipindah ke RS lain maka kuputuskan memberi kabar esok hari. Pagi hari aku ke RS, giliran jaga.
“Aduh… sakit. Gak kuat” aku disambut desah kesakitan bapak.
Nyaris tiap malam, aku selalu berdoa agar Allah mengizinkan aku ada di dekat ayah saat beliau dipanggil-Nya. Aku ada di Jepara, begitu pula istri dan anakku. Anak, istri, menantu, dan cucu bapak semua di Jepara. Aku tahu hari ini bapak akan menyusul Pakdhe. Siang hari bapak diberi obat penenang agar bisa tidur. Saat bapak bangun akan kuberitahu kelulusanku semalam. Dan bapak tidak pernah bangun usai ibu salat zuhur. Kabar itu tak pernah sampai ke telinga bapak.
Tulisan ini kubuat di Belanda. Keinginanku adalah diantar bapak dan ibu di bandara, menuju Eropa. Tapi itu tak pernah tewujud. Tak apa. Ibu mendoakan dari Jepara. Bapak melihat dari alam sana. Mungkin sambil minum wedang jahe dengan Pakdhe. Dari jauh aku tahu bapak bangga kerja kerasnya terbayar lunas. Anaknya sekolah di Eropa.
Trinil
Hal terburuk yang bisa kulakukan sebagai putra Jepara adalah tidak pernah benar-benar mengenal Trinil. Raden Ajeng Kartini adalah nama dewasa Trinil. Dan aku bersyukur tidak melakukan dosa itu.
Dari banyak hal yang patut kusyukuri, satu hal yang masuk jajaran atas adalah keputusanku membaca kumpulan surat-surat Kartini. Aku tak akan pernah tahu pemikiran feminismenya, betapa penting pendidikan di matanya, kritikannya pada feodalisme dan patriarki, juga kegagalannya bersekolah di Belanda yang mematahkan hatinya.
Kartini tak pernah benar-benar ingin menikah sedini itu. Atau malah tak ingin menikah sama sekali? Yang ia mau, sekolah di Eropa. Di Belanda. Kartini ingin menyerap ilmu sebanyak mungkin. Diserap lalu dituang ke para pribumi, khususnya gadis-gadis.
Kartini jauh lebih dikenal dari Kartono kakaknya. Aku yakin, Kartini yang kita tahu sekarang terbentuk banyak berkat Sosrokartono. Sang kakak menyuplai banyak bacaan saat sang adik dipingit. Dari sana Trinil tumbuh menjadi Kartini. Dari bocah menjadi gadis pemberontak (walau hanya dalam pikiran).
Sosrokartono bersekolah di Belanda, maka sang adik pun berkeinginan sama. Kartini mendapat beasiswa, tapi tidak dengan persetujuan bapaknya. RM Adipati Ario Sosroningrat menghendaki anaknya menikah dengan Bupati Blora, KRM Adipati Ario Singgih Djojoadhiningrat. Kartini pun menyudahi impiannya dan tunduk pada nasib.
Sebelum membaca kisah pilu Kartini, aku tak pernah memasukkan Belanda dalam rencana hidup. Jika ada kesempatan sekolah di Eropa, urutan pilihanku: Inggris, Spanyol, lalu Swiss. Belanda? Negara itu tak pernah masuk radar studiku. Tapi kisah itu mengubah banyak hal.
Dan sekarang aku di sini, sebuah kota kecil bernama Wageningen, mendengarkan bahasa Belanda setiap hari, membaca rambu lalu lintas berbahasa Belanda yang semoga saja aturannya tak kulanggar, dan masih tak paham kenapa ada orang fanatik dengan keju.
Aku di sini untuk membayar utang impian Kartini. Sebagai sesama orang Jepara, impiannya kumasukkan jadi sebagian impianku. Kuharap Kartini setuju.
Asserpark, mengenang 15 tahun smong Aceh