Kantin 52


“Chaniago itu nama batak lur,”

“Kalau bodoh jangan tanggung, jelas-jelas itu nama minang,”

“Kau ini. Bodoh jangan dipiara, kambing dipiara bisa gemuk,”

“Nah itu! Kau mengutip Warkop DKI barusan. Lupa kau film Warkop yang ada koki Robert Davis Chaniago? Ahli masakan Prancis asal Padang!”

“Kalau belum pernah nonton, memang kenapa?”

Bu Asih cuma geleng-geleng dan tersenyum melihat kelakuan dua pelanggannya. Perempuan tua itu memperhatikan sambil mengelap piring dan sendok. Garpu dan mangkok sudah beres lebih dulu.

Zul, yang bilang Chaniago nama batak, mahasiswa semester enam di sebuah kampus yang tidak biasa. Bagaimana bisa dibilang biasa kalau kampus berembel BUMN besar ada di gang kecil. Saking kecilnya, kalau ada mobil lewat semua kendaraan lain, motor sekalipun, kudu menyingkir. Panjul, lawan debat Zul tadi, masih satu kampus dan satu angkatan tapi lain kelas. Kedua remaja ini sering mampir makan di Kantin 52.

Kantin 52 memasang papan tulis putih di dinding. Ada spidol hitam dan biru untuk urun suara.

“Bu, ayam serundengnya enak! Besok lagi ya!” Zul sepakat.

“Kantin 52 masakannya mirip buatan ibuku. Enak!” Panjul tak paham karena ibunya nyaris tak pernah memasak.

“Orek tempe dong Bu, tanggal tua nih :(“ dasar proletar.

“Harganya jangan naik ya Bu, pliiiiiis” ini juga proletar.

“Bu Asih bikin ayam cordon bleu dong, ya ya ya?!” ada juga borjuis menyusup.

Zul dan Panjul tak pernah ikut mencoret-coret. Langsung bilang saja Bu Asih apa susahnya. Dua remaja konservatif. Tapi Zul segera mengkhianati Panjul pada satu sore Februari yang dingin.

Sayup-sayup, hampir kalah dari rintik hujan, ada musik mengalun entah dari mana. Zul langsung berhenti makan. Ia tahu betul lagu itu. Judulnya ia lupa, tapi itu dari Harvest Moon, gim kesukaannya.

“Itu awewe yang main piano. Kadang makan di sini kok Jul,” maksud Bu Asih Zul, tapi ia selalu mengganti z dengan j.

“Siapa Bu?”

“Tanya sendiri dong, hehehe,” goda Bu Asih.

“Ah pelit nih Ibu,” Zul menyelesaikan makan sambil mendengarkan lagu itu. Nikmatnya.

Zul pulang membopong rasa penasaran. Semua gara-gara saat membayar, Bu Asih bilang kalau gadis itu cantik. Mana rambutnya pendek pula. Untung tak ditambahi lagi ia berkacamata, bisa langsung Zul sembah dan puja nanti.

Tiga hari berlalu tanpa ada ide mampir di kepala Zul. Lewat saja tidak, apalagi mampir. Di kantin, Zul memelas lagi ke Bu Asih. Siapa namanya? Kuliah atau sekolah? Di mana? Kapan makan ke sini lagi?

Zul duduk malas-malasan sambil menyantap ayam serundeng dan orek tempe kesukaannya. Ia melihat dinding. Ada papan tulis baru.

“Habis dibersihin ya Bu?”

“Bukan, itu memang ibu beli baru,”

“Ibu memang selalu beli baru Zul. Istri saya ini maunya coretan di papan tulis disimpan. Sampai numpuk di rumah tuh,” suami Bu Asih ikutan.

Zul mengambil spidol dan menulis Ia tersadar dari kedunguannya sekian lama..

“Hai kamu yang mainin lagu Harvest Moon pakai piano, siapa namamu? ~ Zul”

Demi balasan gadis piano, Zul salat lalu berdoa memohon welas asih-Nya. Cih, kalau ada maunya saja.

“Wah kok tahu itu lagu Harvest Moon. Nama aku Adel,”

Zul girang seperti bocah kecil diberi permen.

“Kok aku jarang lihat kamu makan di sini? Padahal aku sering makan di sini,”

“Kalau ada menu kesukaanku, aku selalu makan di sana kok,”

“Adel suka apa?”

“Sukanya kamyuuuuuuuuu,”

“Apa aja asal sama aa deh,”

“Yang gratis pokoknya,”

Brengsek. Anak-anak pelanggan kantin lain yang menulis itu. Lima hari berlalu tanpa balasan dari Adel. Tapi alunan piano itu masih ada. Zul sesekali mendengarnya saat sedang makan.

Hari ini Zul absen makan di Kantin 52. Tadi ia mendapat balasan SMS Bu Asih. Hari ini menunya terung. Ia benci terung. Tiap kali ada terung, ia memilih makan di tempat lain dulu. Melihatnya saja muak. Memakannya? Tidak, terima kasih banyak.

Gara-garanya, Zul pernah baca surat pembaca di sebuah majalah pria dewasa. Seorang perempuan suka memakai terung sebagai torpedo pemuas syahwatnya. Zul memandang terung sebagai sesuatu yang jijik bukan main.

“Kan pasti dicuci dulu lur sebelum dimasak,” argumen Panjul masuk akal. Tapi persoalan terung tak pernah membuat Zul punya akal. Emoh. Titik.

Maka ia selalu bertanya pada Bu Asih apa menu hari ini. Dan Bu Asih selalu ingat Zul benci terung.

Siang itu terik. Di halaman 128 Burung-burung Manyar, ia lapar tak tertahankan. Bu Asih hari ini masak apa ya?

“Ibu nggak masak terung,”

“Oke Bu. Siapin kesukaan Zul ya,” maksudnya nasi ayam serundeng, orek tempe, dan es teh manis.

“Paham ibu,”

Zul berjalan ke Kantin 52. Kos dan kantin cuma berjarak satu blok. Hari ini Panjul ada kuliah, jadi ia sendirian.

Kantin 52 tengah ramai siang itu. Hanya tersisa dua kursi kosong, saling berhadapan. Bu Asih memberi tanda jempol. Artinya makanan sudah siap, Zul tinggal duduk dan makan.

Tersaji di hadapan Zul: es teh manis, orek tempe, dan terung balado. Bajigur! Terung! Zul melotot ke Bu Asih. Belum sempat protes, Bu Asih menepuk bahunya dan bilang.

“Sudah, makan saja dulu. Adanya cuma itu,” bohong. Masih ada ayam serundeng tapi sengaja Bu Asih taruh di dapur.

Zul masih ogah memegang sendok. Ia cuma minum es. Cuaca siang itu panas betul.

“Bu, terungnya masih banyak kan? Balado kan?”

“Iya, pedas kok. Kamu suka kan?”

“Hehehe iya. Ibu paling tahu deh,”

Manusia macam apa sih yang gemar terung. Pasti golongan laknat. Calon penghuni rumah sakit jiwa. Zul mengutuk dalam diam.

“Suka terung juga ya A? Itu terungnya banyak banget,” orang yang memesan terung tadi menanyai Zul. Suara perempuan.

Rambutnya pendek. Tubuhnya mungil dan langsing. Mancung hidungnya pas. Tebal alisnya sempurna. Punya lesung pipi. Dan pakai kacamata. Zul diam lagi. Jenis diam yang berbeda dari sebelumnya.

Sembah Zul, sembah! Puja Zul, puja! Entah siapa yang berbisik di kepalanya.

Zul mau saja melakukannya andai gadis cantik itu tidak memesan terung. Sekarang Bu Asih sudah menyajikan pesanan si gadis di meja. Di hadapan Zul ada dua piring berisi terung balado. Nasib macam apa ini.

“Eh sebentar A, aku mau nulis di papan tulis dulu. Kelupaan dari lama,”

Sebentar, sebentar. Kelupaan? Dari lama? Rambut pendek… ah bukan pastinya. Dari belakang punggung Zul, Bu Asih berteriak,

“Del, mau minum apa?”

Eh? Del?

“Jus terung belanda Bu,” brengsek, terung lagi.

Gadis itu duduk lagi. Zul tak lagi diam.

“Adel?”

“Iya. Kok tahu A?”

“Yang suka main piano?”

“Iya,”

Telunjuk Zul menunjuk muka, “Zul. Zul saja, bapakku pelit kasih nama. Manajemen Bisnis kampus masuk gang,”

Adel tersenyum. Gusti, kebesaranmu memang nyata.

“Adelia Chaniago. Seni Musik universitas yang dulunya IKIP,”

“Orang batak ya?”

“Hahaha, bukan. Kalau Chaniago ya minang dong,”

Bajigur. Bu Asih terkekeh di belakang. Zul makan terung. Terpaksa.

Shesar

Jakarta, 8 Oktober 2017

60 Detik

gambar: efftronics.com

gambar: efftronics.com

Dalam dinginnya hujan bulan Februari, seorang bapak melindungi koran dagangannya di bawah rimbun pohon mangga. Seorang bocah kecil lari ke sana ke mari menikmati derasnya air yang tumpah dari awan. Cerita yang didengar si bocah tadi, hujan adalah waktu ketika tuhan menangis. Menangis karena ada anak yang bandel bukan main. Dasar bocah, mereka malah terus membandel karena hujan bukanlah penyakit, hujan adalah teman bermain dan belajar.

Saat bapak tadi masih menunggu tuhan berhenti menangis, si bocah beberapa kali hampir mati disikat mobil. Bocah tadi kecipak-kecipak asyik di perempatan jalan ibukota. Mobil-mobil berhenti dan meneriaki si bocah,

“Di trotoar saja anak setan!”

Salah. Orangtua si bocah memang garong kampung, tapi kelakuannya masih belum setara setan. Kadangkala setan, diiming-imingi jin, suka bikin istri orang hamil. Kadang malah bukan orang, kambing dan ayam pun setan sodok daging jepitnya. Legit sih, mau bagaimana lagi. Si orangtua bocah itu meski garong tapi hanya menyodok istrinya sendiri. Tapi kalau bosan, ia bisa gonta-ganti istri. Setahun ada lah dua kali.

Si bapak sedih melihat mobil-mobil tadi. Tidak, ia peduli anjing pada si bocah, sekalipun ia mati disikat mobil atau penyek dilindas truk sekalian. Lampu merah adalah rejekinya, sebaliknya hujan adalah sial buatnya.

Dua belas menit setelah bocah tadi diteriaki anak setan, tuhan baru bisa berhenti menangis. Bapak tadi membopong lagi koran-koran dagangannya ke taman kecil pembatas jalan. Menunggu 210 detik untuk lampu merah selanjutnya.

“Koran Pak? Beritanya anggota dewan selingkuh lagi,”

“Itu berita?” pria berkumis lebat di kursi supir bertanya.

“Memangnya bukan Pak?”

“Bapak makan itu berita tidak? Bapak jualan koran itu berita? Atau saya berangkat ke kantor pakai mobil, itu berita tidak?”

“Tidak lah Pak. Itu kan sudah biasa, sehari-hari juga begitu,”

“Lha iya sama kalau begitu dengan selingkuhnya anggota dewan tadi. Apanya yang berita?”

Lampu hijau menyala 60 detik sesudah itu dan mobil-mobil melaju terburu-buru. Si bapak duduk di taman, kembali menunggu lampu merah. Lampu hijau adalah saat-saat si bapak membaca berita di koran atau mencicil buku yang ia bawa dari rumah.

Merah kembali menyala. Si bapak menawarkan lagi korannya ke mobil-mobil.

“Ke yang lain saja Pak, saya sedang pusing!” galak betul pikir si bapak.

Lampu merah habis jatah. Belum satupun koran laku.

Lampu hijau lagi, lalu merah. Si bapak masih berusaha.

“Koran Pak? Ada berita tahun depan ekonomi kita tumbuh tujuh persen,”

Dor. Otak si bapak muncrat kemana-mana dibedil pemilik mobil. Si bapak mati, lampu merah habis jatah, mobil melaju terburu-buru. Matinya si bapak dianggap sama saja seperti matinya tikus terlindas mobil. Ya sudah, mati saja sana.


Om-om usia 35 tahun buru-buru menyelesaikan pekerjaan kantornya. Ada telepon, 210 detik lalu, mengabarkan pacarnya semaput disenggol truk. Pekerjaan hari ini tak banyak, untunglah.

Om-om 35 tahun yang rambutnya masih tebal berjalan ke parkiran, menuju mobil kodok yang baru lunas cicilannya bulan kemarin. Ia baru sampai depan warung Mbok Belek, kira-kira satu isapan batang rokok dari kantor, saat atasan menelepon.

“Ke kantor ya, besok direktur audiensi dengan menteri. Kamu bikinkan materinya,”

Asu, babi, bedes, sapi kudisan meloncat dari mulut si om. Putar balik ia dengan gerutuan yang tak karuan.

Membongkar data sana lalu sini, tanpa bantuan kawan-kawan yang semuanya memang sudah pulang, ia butuh 60 menit untuk membuatkan materi itu.

“Ini ya Pak, silakan dikoreksi. Kalau sudah tak ada revisi, saya izin pulang Pak,”

“Ah ndak usah, saya percaya sama kerjaan kamu,”

Si om lalu kembali menginjak pedal gas. Ia sudah mengisap habis dua batang rokok, saat ada telepon lagi. Sepertinya asu akan keluar lagi dari mulutnya.

“Tolong kembali ya, ada revisi dari direktur,”

Asu, babi guling, ayam cemani, prenjak mambu. Si om putar balik lagi, dengan gerutuan yang lebih tak karuan.

“Buka dokumennya, kata direktur nama beliau salah tulis. Harusnya Muhammad, bukan Mohammad. Pakai u, bukan o,” ah sial, kenapa u dan o harus bertetangga pula.

“Itu saja Pak?”

“Iya kata beliau,”

“Sampai harus memanggil saya?”

“Saya ndak biasa pakai Ubuntu, dari dulu pakai Windows,”

“Kan Bapak bisa pakai komputer saya,”

“Ada password-nya kan?”

“Bisa saya kirimkan lewat SMS,”

“Ya sudah, kerjakan saja jangan banyak tanya. Kamu sudah terlanjur di sini kan,”

Kadal pohon, brontosaurus, buaya buntung, kirik.

“Sudah Pak, beres,”

Si om melajukan mobilnya lebih cepat. Menjauh dari kantor adalah hal pertama yang ia inginkan sore itu. Bahkan lupa sudah pada pacarnya yang semaput tersenggol truk.

Dering telepon mengusik lagi. Bodoh! Kok lupa kumatikan sekalian ponselnya! Kepalanya makin mendidih.

“Halo Pak, ada apa lagi?”

“Kembali lagi ke kantor ya. Direktur minta dibuatkan infografis,”

“Infografis? Saya tidak paham desain visual sama sekali Pak,”

“Bukannya kamu lulusan DKV?”

“Saya sastra Belanda,”

“Loh salah?”

“Tejo yang lulusan DKV Pak,”

“Tapi Tejo sedang cuti,”

“Lalu?”

“Ke kantor saja, saya sudah kadung bilang bisa ke direktur,”

Bajing mencret, singa berak, macan korengan. Putar balik lagi ketiga kalinya. Tiap putar balik berimbas pada kosakata makian yang tambah kaya.

“Kamu ada teman yang bisa buat infografis?”

“Ada, mau saya panggilkan?”

“Bagus. Kita berdua temani kawanmu itu bekerja,”

Kawan itu butuh waktu satu pertandingan sepak bola untuk menggarap pesanan direktur.

“Kamu bayar dulu ya, nanti diganti bendahara,”

Celeng alas.

Si om pulang. Tiga isapan batang rokok sampai ia berhenti di perempatan. Seorang pedagang menawarinya koran.

“Tidak Pak, saya sedang pusing. Malas baca koran,”

Setengah isapan batang rokok, bukan oleh mulut tapi angin pendingin udara, saat si om tiba di perempatan kedua.

“Koran sore Pak?”

“Tidak! Saya sedang malas baca koran!”

Si bocah pedagang koran kaget, nyaris menangis. Itu bentakan pertama dalam karir berdagang korannya yang dimulai tiga bulan lalu.

Mendekati perempatan ketiga, telepon berdering. Suma, pacarnya, meninggal akibat pendarahan di otak. Ia tak semaput biasa. Senggolan truk membuat kepalanya bocor membentur pinggiran trotoar. Semaput adalah kebohongan sepupunya agar ia tak panik

Si om menangis melolong. Segala macam nama binatang, kecuali antelop dan cheetah, keluar sebagai sumpah serapah. Dari jauh, pedagang asongan merapat ke tengah jalan. Tolong, jangan koran lagi.

“Koran Pak? Ada berita tahun depan ekonomi kita tumbuh tujuh persen,”

Diam kau pak tua. Pacarku modar dan kau menawariku koran? Kubedil sekalian kepalamu. Dor.


“Bu, bapak jadi beli hadiah aku ulang tahun hari ini?”

“Doakan koran bapak laris ya Nak,”

“Aku mau tamiya ya Bu,”

“Kalau koran bapak laris, pasti dibelikan Nak. Kamu berdoa saja,”

Sampai malam, tamiya tak kunjung didapat. Tidak juga besok, lusa, minggu depan, bulan depan, juga selamanya.

©Shesar Andriawan

Jakarta, 25 Februari 2017

Tahi Goreng Tulang Lunak

Mendoan, tentu saja (gambar: homemades.co.cc

Mendoan, tentu saja (gambar: homemades.co.cc

Budi dan keluarganya selalu memaksa diri makan nasi kecap setiap hari. Karena nasi kecap adalah wakil nyata betapa kerenya mereka. Namun semua berubah ketika Budi mencipta produk gorengan baru dengan bahan dasar yang mengagumkan: tahi.

Jauh dari dungu, Budi sebetulnya pria pintar. Ia pelajar tekun dan penikmat bacaan nomor dua di pergaulannya. Pria yang tak pernah mau kalah adalah pandangan orang-orang padanya. Khusus untuk juara membaca, ia rela kalah.

“Terserah si Telo lah, biar saja dia jadi juara perkara tekun membaca,”

Kawan-kawannya paham. Telo tekun membaca karena begitu pendiam dan malas menjalin kawan. Telo hanya berkawan buku. Tapi ia tak berkawan pena. Setekun apapun Telo membaca, ia tak tekun sama sekali soal menulis. Konon, kalau ia menulis, jumlah buku yang ia baca berkurang. Dan ia takut disalip Budi. Tahi kebo sebetulnya, karena segandrung apapun Budi pada buku, ia masih gandrung pada manusia, terutama perempuan. Di kala si anu berontak, Telo pergi ke kamar mandi, sedangkan Budi pergi ke kamar kos kekasih. Itulah kenapa Budi santai saja dilangkahi Telo. Ia suka buku, tapi tak sampai tega menipu anunya dengan memek palsu alias telapak tangan.

Kala tak membaca atau bergaul, Budi kerap datang ke seminar. Macam-macam yang ia datangi: seminar pendidikan, cara laris jualan, kesehatan, bahkan seminar konyol bertema melupakan mantan. Satu seminar kesehatanlah yang mengubah alur hidupnya, jauh dari yang semula ia rencanakan.

Pembahasan di seminar itu berpusar pada tidak sehatnya gorengan. Ini yang ditolak Budi dalam diamnya. Tegas sekali, dalam diam, ia menolak ide gorengan adalah makanan tak sehat yang dihuni banyak lemak jahat serta dijauhi nutrisi baik. Pengisi seminar menganjurkan para peserta berhenti makan gorengan dan mulai berakrab diri dengan buah.

Jika di perkara membaca ia jadi nomor dua, lain soal untuk gorengan. Budi adalah pasukan garis keras. Sejak belasan tahun lalu sejak lidahnya kenal pada rasa mendoan Banyumas, Budi mendaku diri sebagai pemuja gorengan. Dari mendoan, ia merambah ke bakwan, ubi, singkong, sukun, juga cabai goreng yang dibawakan dosennya dari Tamil.

Yang membuat Budi menolak bahasan seminar tadi, tubuhnya adalah yang paling rosa seantero pergaulannya. Nafasnya paling panjang, larinya paling kencang, ototnya paling kelihatan, dan pentungannya paling lama layu. Tak lupa juga fakta jam buang air besarnya paling teratur, setara kedisiplinan jam masuk kelas dosen filsafat kampusnya.

Budi melawan. Wisudanya ditandai deklarasi di hadapan para kawan karib, ia akan menekuni karir sebagai tukang gorengan. Ia akan membuktikan gorengan bukan tersangka memburuknya tubuh manusia, karena setidaknya Budi pun mengakui gorengan tak begitu ada manfaat bagi tubuh.

Berkutat di rumah kontrakan yang jendelanya ada dua, Budi meriset bahan pendukung terbaik untuk mendoan ciptaannya. Untuk orang dengan ketekunan membaca seperti Budi, riset adalah sarapan pagi: tidak memberatkan, asyik saja dilakoni. Dan dapatlah ia bahan pendukung termantap setelah meriset berminggu lamanya.

Mendoan kebanggaan Budi dicobakan ke para kawan karib. Gilang gemilang mendoan itu. Para kawan karib memuji Budi.

“Apa resep rahasianya Ndes?” Gondes adalah panggilan Budi di lingkungan perkaribannya.

“Risetku lama dan dalam. Tiap pagi, sambil buang tahi kubaca tulisan tentang tepung, garam, dan tetumbuhan dari timur yang tentu tak ada di barat sini. Dari sana aku paham cara membikin tepung terbaik, di mana garam terbaik dibuat, dan tetumbuhan timur apa yang legit untuk mendoan ini,”

“Tumbuhan apa?”

“Itu rahasia bung,” padahal Budi hanya lupa nama tumbuhan yang rumit itu, yang mengucapkannya saja harus pelan betul agar ejaannya tak keseleo.

Maka sampailah mendoan Budi ke perkantoran tempat para kawan karib bekerja. Pemrogram gandrung karena mendoan itu membuat kode-kode tak lagi ruwet di mata. Penyunting menjadikannya sarapan pagi, sebab mereka jadi lebih teliti saat menyunat tulisan. Komikus pun tak ketinggalan, karena mendoan itu membuat mereka akhirnya tak malas makan dan lebih lagi humor yang tertuang di kertas lebih tidak garing dari sebelumnya.

Budi pun cukup sukses. Dari berjualan mendoan, ia membeli puluhan buku jenis bacaan baik tentang gorengan maupun bukan, pergi ke tatar sunda untuk lebih memperkasakan pentungannya, yang lalu membuat kekasihnya sering menjerit di antara sakit atau senang.

Dua tahun sesudah pentungannya perkasa maksimal dan keuangannya aman, Budi menikahi kekasih yang sudah lama akrab dengan pentungannya. Mereka dapat berkah seorang gadis lucu yang dinamai Mbahmukiper. Nama yang demikian untuk menghormati nenek si kekasih yang semasa muda menjaga gawang tim sepak bola di ajang Olimpiade.

Berkah lainnya adalah ide produk-produk lain yang sukses terwujud. Tahu bulat, tahu segitiga, tahu tabung, mendoan isi cabe, mendoan isi daging, gehu pedas, gehu tidak pedas yang isinya coklat, juga sukun goreng yang sedap betul karena direndam lama di gudang garam, lalu ditusuk banyak jarum, dan dijemur di bawah terik surya selama 76 menit. Persis seperti yang sudah-sudah, produk-produk itu laku di perkantoran. Jawaban Budi selalu sama jika ditanya apa rahasianya.

“Riset adalah koentji!”

Selayaknya pengusaha lain, Budi pun memperluas pasarnya. Bukan karena tamak, tapi perkantoran yang melanggan gorengannya bubar. Tak bangkrut, tapi pindah ke kota lain. Perusahaan tadi undur diri karena gaji di kota baru itu lebih kecil, perusahaan bisa lebih irit.

“Kapitalis asu!” dimulailah hari-hari nasi kecap di keluarga Budi.

Dalam sebuah momen kekalahan Brasil 1-7 atas Jerman di satu laga sepak bola, Budi sadar orang-orang di warung mi instan rata-rata menghabiskan 10 gorengan sepanjang permainan. Menang kalah, pemirsa geregetan dan gorengan adalah pelampiasan paling dekat. Menempeleng teman di sebelah jelas cari perkara, sedangkan menggigitnya lebih perkara lagi. Maka menggigit gorengan adalah pelampiasan paling beradab.

Budi berkeliling ke banyak warung mi instan, menawarkan mendoan dan kawan-kawannya. Bodohnya, Budi menjual gorengan di warung sama dengan di perkantoran. Hanya sedikit orang khilaf yang geregetan lalu menggigit gorengan Budi. Tak laku.

“Barangkali riset bukanlah koentji,” renungnya.

Dan Budi pun mengganti bahan-bahan gorengannya dengan yang  lebih murah. Jika riset bukanlah koentji, maka bahan-bahan itu haruslah mudah didapat tanpa banyak menggali kemampuan otak. Berkelilinglah ia mencari bahan dimaksud. Di ladang, di kebun, di sawah, di gunung, Budi mencari kesana lalu kemari. Lebih rumit daripada mencari orang pintar yang sanggup membesarkan pentungan ternyata.

Bahan-bahan yang mudah dicari jelas terserak di mana-mana, tapi tak ada yang menghasilkan rasa mengagumkan. Budi sendiri malas memakannya, apalagi menjualnya.

Kesal dan kadung lelah karena dagangannya banyak tak termakan, Budi iseng mencampur tahi kebo ke adonan. Tahi kebo mudah saja didapat, tetangga samping rumah punya empat ekor. Tahi-tahi itu direlakan saja oleh tetangga, lumayan untuk mengurangi bau tak sedap.

Dan dicampurlah sedikit tahi itu ke dalam adonan. Tahi adalah antitesis segala riset Budi selama karir tukang gorengannya. Tahi mudah didapat, mudah dicari. Tak perlu baca banyak buku untuk menemukan dan mencampurkannya dalam adonan. Orang yang tak pernah belajar membuat gorengan pun bisa sangat mudah melakukannya.

Bahan lain yang dicampur adalah tulang ayam tiren. Tulang itu dilunakkan dulu agar masuk ke adonan. Terlalu keras hanya akan merusak gigi pemakannya.

“Jika riset adalah koentji, maka tahi adalah …” bahkan yang seperti ini pun dipikirkan oleh Budi. Budi, tahi tetaplah tahi. Tak perlu kau pikirkan perannya sebagaimana riset-risetmu.

Mendoan campur tahi dan tahu isi tahi Budi titipkan di beberapa warung. Ramai-ramai sepak bola jagat sudah lewat. Di warung-warung, orang sibuk mengamati televisi dengan bermacam beritanya. Sebentar lagi pemilihan paduka. Tiga kandidat saling sikut berebut tahta.

Orang-orang punya kubu tersendiri. Tapi mereka masih bertemu di warung. Makan mi instan bersama, geregetan bersama. Bedanya, kali ini setiap geregetan akan berakhir pada gigitan di gorengan buatan Budi.

Budi kaget. Gorengan iseng yang ia niatkan untuk mengerjai orang-orang malah disukai. Gorengan yang asal saja ia bikin. Mendoan yang porsi tahinya lebih banyak dari tempe, tahu tipis yang isi tahinya lebih dominan. Kaget dan jijik, tapi Budi bisa tersenyum. Ia lega tak akan lagi makan nasi kecap sebagai pembuka hari, lanjutan ibadah tengah hari, dan makanan sesudah ibadah senja.

Kian hari pelahap gorengannya kian bertambah. Semua warung mi instan menyediakan gorengan campur tahi itu. Rasanya cocok di lidah pengunjung warung.

“Lebih gurih mas. Yang sebelumnya ndak enak. Makan itu bikin kepalaku pening. Peningnya mirip dulu waktu ujian matematika dan ilmu alam semasa sekolah,” rata-rata begitulah komentar orang di warung.

Setiap kali ada debat antar calon paduka, Budi menyetor lebih banyak tahi goreng tulang lunak. Tahi goreng tulang lunak. Akhirnya Budi menemukan nama yang pas, walau tentu saja ia simpan untuk diri sendiri.

Kala lain Budi menyetor lebih banyak tahi goreng tulang lunak adalah saat ada berita miring salah satu calon paduka. Sekali waktu, salah satu calon paduka dikabarkan bersetubuh dengan kerbau. Budi tahu kabar itu bohong belaka karena ia tahu betul si calon paduka tak punya pentungan, sebab sudah rusak diinjak kerbau saat remaja dulu. Di masa-masa tayang kabar ngawur itulah tahi goreng tulang lunak laku mengagumkan.

Budi peduli anjing siapa pemenang sikut-sikutan itu. Selama ia tak lagi harus makan nasi kecap, Budi akan terus menjual tahi goreng tulang lunak.

“Bagiku jijikku, bagimu tahi buatanku,”.

 

©Shesar Andriawan

Jakarta, 12 Februari 2017

Yang Sedap Tapi Tersembunyi di Belitung

Aku punya teman. Dia punya pulpen. Pulpennya selalu menuliskan nama-nama tempat makan ramai. Setiap kali bingung mau makan di mana, kawan tadi punya satu pakem: cari yang ramai. Yang ramai pastilah enak. Ada kalanya benar, ada kalanya tidak.

Kawan saya tadi, jika dihadapkan pilihan mendukung klub sepak bola, hampir pasti pilihannya berputar-putar di antara Manchester United, Real Madrid, Juventus, AC Milan, Barcelona, Inter Milan, atau Liverpool. Susah berharap dia akan menunjuk West Ham, Sevilla, apalagi Consadole Sapporo.

Logika ini menurut Rolf Dobelli (penulis buku The Art of Thinking Clearly) berakar dari masa pra sejarah. Yang mana kala itu manusia zaman dulu, ketika sedang berburu/diburu, akan cenderung mengikuti gerak keramaian ketimbang berpikir kemudian beraksi sendiri. Atas nama kelangsungan hidup.

Mereka yang pernah/sedang tinggal di Bandung, utamanya di area Setiabudi dan Gegerkalong, sudahlah akrab dengan warung makan AEP (Asli Enak Pisan) dan Sate Ayam di dekat Alfamart Gerlong Girang. Selalu ramai. Dan memang sedap masakannya.

Di beda kesempatan, ada pula tempat makan ramai yang cuma penuh orang tapi sedapnya medioker. Kusebutkan salah satunya: sate ayam Heri di Sabang, Jakarta Pusat. Mahal iya, sedapnya biasa saja. Es Teler 77, Solaria, dan tempat makan lain yang kebanyakan cabang tak usahlah dibicarakan. Nama memang besar dan membesar, tapi soal rasa malah mengecil.

Sewaktu berlibur di Belitung, aku dan istri mampir ke tempat makan (dan minum) yang ramai dan tak ramai. Harus adil. Ingat kata Pramoedya, terpelajar itu harus adil sejak dalam pikiran. Kami mampir ke Kopi Kong Djie dan Mie Atep. Tempat terakhir nanti saja kusebut namanya.

Warung kopi ini sudah ada ejak 1973. Tidak, aku tidak salah ketik. Lihat saja sendiri, tulisannya memang ‘ejak 1973’. Aku memesan coklat susu, istriku kopi susu. Harganya lebih murah dari tempat ngopi asal Amerika itu. Ya terang saja.

Mana kopi, mana coklat?

Mana kopi, mana coklat?

Aku tiada berbohong kawan

Aku tiada berbohong kawan

Tempat air diseduh pakai tungku

Tempat air diseduh pakai tungku

“Ini pakai kopi Belitung Pak?”

“Itu campuran arabika dan robusta. Kopinya dari Jawa dan Lampung,”

Yang namanya kopi Belitung itu tidak (atau belum) ada kawan.

“Di sini tidak ada yang tanam kopi.  Yang bikin khas ya campurannya itu. Kami racik sendiri,” kata si bapak yang lupa kutanya nama dia. (pembaruan: ternyata ada, menurut artikel ini)

Bapak itu generasi kedua. Kong Djie adalah nama bapaknya. Generasi ketiganya belum ketahuan siapa. Anaknya yang kuliah di Selandia Baru memilih kerja di sana.

Waktu itu Kamis malam. Warkop itu sepi. Kupikir akan sangat ramai.

“Di sini ramainya kalau pagi. Orang-orang ngopi sebelum kerja. Atau selepas absen mampir ke sini dulu sebentar,”. Sepagi itu, rayuan kasur dan selimut hotel masih begitu kuat Pak, ketahuilah.

Aku tak paham kopi. Dari dulu. Tapi kalau coklat yang kuminum itu sedikit aku bisa paham. Rasanya lebih pekat dan pahit dari yang biasa kalian minum wahai orang kota. Lebih sedap kubilang.

Dibanding kopi, aku lebih bisa lagi merasai mie. Sedap atau tidaknya lebih kentara. Mie Atep begitu tersohor bagi pelancong. Sepeda motor pun kami parkirkan di sana. Duduk, pesan, lalu makan.

Mienya lebih tebal dari mie burung daraaaaa enaknyaaaa nyambung teruuuus. Kuahnya cukup kental. Ada mentimun, kentang, dan satu bahan dari terigu yang biasa ada di capcay itu. Ah lupa, udang kecil pun disertakan.

Rasa kuahnya manis dan gurih. Berhubung kepekaan rasaku belum sedetail koki, cukuplah kubilang begini: enak, makanlah. Satu setengah porsi, karena satu kurang, dua kebanyakan.

Suasana di Mie Atep.

Suasana di Mie Atep.

Mie Atep ada di Belitung, bukan Sunda.

Mie Atep ada di Belitung, bukan Sunda.

Yang paling enak kusimpan paling akhir. Ingatlah bagaimana Leicester City bisa jadi juara Liga Inggris musim lalu. Sedikit sekali orang menduga. Rasio taruhannya saja 5000/1. Artinya, kalau memasang satu juta rupiah, kalian akan memenangkan lima miliar rupiah. Cukup untuk stok tempe seumur hidup.

Kedai Ishadi berjarak cuma 100 meter dari Green Tropical Village Resort. Menunya biasa saja: nasi goreng, pempek, kwetiau, mie goreng. Tapi ada juga yang kurang dikenal orang Jawa (pikirku sih begitu) semisal pantiaw.

Kupesan pantiaw karena menu nasi dan mie goreng sedang kosong. Pempek juga, karena sedang ingin saja. Makanan kami bawa pulang ke penginapan.

Oh tuhan. Kenapa bisa ada makanan seenak ini?

Itu adalah pempek terenak yang pernah kumakan. Peringkat pertama sebelumnya ditempati pempek KPAD Gegerkalong. Empat tahun lalu sekeluarga asal Palembang pindah ke Bandung, coba-coba berjualan pempek. Harganya kala itu Rp10.000.

Pempek di Kedai Ishadi ada dua jenis: lenjer dan kapal selam. Tapi ukurannya kecil. Yang bikin enak, kulit luarnya tidak terlampau keras. Dan yang paling juara adalah cukanya. Begitu gurih dan sedikit manis. Istriku yang doyan makan mengamini.

Pantiaw ternyata semacam kwetiau. Namun kuahnya kental. Lebih kental dari Mie Atep. Warna kuahnya putih ada tekstur kasar. Aku tak yakin itu apa, kemungkinan telur. Tapi mungkin juga bukan. (pembaruan: ternyata itu dari ikan, tapi apa jenisnya sulit dilafalkan) Rasanya gurih. Kwetiaunya biasa saja, tapi kuahnya istimewa. Cukup, aku jadi terbayang-bayang.

Pantiaw

Pantiaw

Pengusaha kuliner sekalian, mengukur tingkat kepuasan pelanggan itu sederhana. Jika pelanggan membeli lagi dan merekomendasikannya, maka ia puas. Seperti yang kulakukan ini.

Dari Belitung ini bisa kuambil pengalaman. Warung makan yang ramai kadang memang benar-benar sedap masakannya, tapi yang sepi tak serta merta berarti tidak sedap. Cobalah, itu tak akan membunuhmu. Ini bukan masa berburu dan tidak ada kjokkenmodinger di samping guamu.

©Shesar, Belitung 9 Oktober 2016

mager di atas kasur